MADZHAB DAN TAQLID DALAM ISLAM

Islam Adjarian di yakini oleh umat Islam sebagai acharan yang bersumber pada wahyu allah. Keyakinan ini is based on the claim that the source of Islam is al-Qur'an and al-Sunnah. So, in the historical context, the process of establishing Islamic law sejatinya took place only during the time of Nabi Muhammad SAW. Hal ini lebih nga sebabkan karena Nabi has full power and authority, even giving himself the theological legitimacy to do so, while the generation after Nabi only serves to develop the construction of the legal framework that was built before.
This phenomenon can be seen in the ijtihad of the faqihs of every period, who achieved fiqh through the methodology of usul-fiqh with some modifications that did not go beyond the scope of al-Qur'an and al-Sunnah.  

AND.    Majab  

Secara etymologis, kata madzhab, derives from sighat masdar mim (kata sifat) dan isim makan (kata yang tepatam) yang diliman dari fi'il madhi dzahaba , yang berarti go, dan bisa juga berarti al-ra'yu , yang berarti Imparat. [1]
According to Ibrahim Hosein, Madzhab secara etymologis memiliki paling tidak tiga macam pengertian, yaitu: 1) estistian, perkaiaan, 2) sistem atau jalan, dan 3) sumber, patokan dan jalan yang kuat, aliran atau juga berarti paham yang dian. [2]
While the terminology secara, madzhab adalah jalan pikanan (pendapat) yang di tempuh oleh seorang mujtehid dalam sehing hukum islam yang bersumber dari al-quran dan al-hadith. [3] Ada Juga Jan Mengartikan: 
  1. Jalan pikir atau metoda yang yang yang seorang mujtehid dalam sehing hukum suatu geadaan. 
  2. Pendapat ataw fetwa seorang mujtehid ataw mufti tentang hukum suatu geadaan. [four]
Jadi madzhab merupakan pokok pikandan/dasar yang yang oleh Imam Majab dalam pokasi masalah/mengistimbathkan hukum Islam. Di samping itu, juga juga to understand dengan sekolah ( school ), yang dalam bahasa to understand Arabic sebagai madresah fikriyah atau madzhab al-aqli . Jadi, Majab Yesensinya Adalakh Aliran Pikakan Atau School of Thought.
Historically, the polarization of madhhabs in Islam can be divided into two main groups: Ahl al-Rai and Ahl al-Hadith , or commonly known as the Kufa faction and the Hijaz faction. The first facsimile introduced by Imam Abu Hanifa, seorang fakih dan ulama' yang lebih banyak menggunakan porsi ra'yu, atau paling tidak lebih tenendan racional dalam pikakan ijtihadnya.
The second facsimile is represented by Imam Malik bina Enes ibn Amr, Fakih dan ulama' yan lebih banyak menggunakan al-hadity dan from the tradition of masyarakat Medina sebagay reference dalam pukuskan ijtihadnya. While Imam Syafiya, who is known as a synthesis between these two groups, although he is more inclined to Ahl al-Hadith, and Imam Ahmed ibn Hanbali are also in the group of Ahl al-Hadith because he is a muhadith , he is also an independent Mujtahid but the land istimbathnya lebih dekat kepad methodologists gurunya imam i siafiya.
Secara sociologis tumbunnya bergeal madzhab dalam hukum Islam sikke oleh socio-historical context, considering socio-social yang melingkupi para imam madzhab dalam proesis estimbath hukumnya. From Sumping Itu, Muhammad Syaltut and Muhammad Ali al-Saith, among others, identify some of the factors that lead to different madhhabs: 
  1. The difference lies in the understanding of Lafadz Nash. Para ulama' berbeda dalam convincingly lafadz nash, karena bisa jadi suatu lafadz usually memeliki makna haiki dan majazi . Sebagai contoh, lafadz quru' , adalah lafadz musytarak , sehaga fuqaha Hijaz mengartikan dengan arti "suci", semanatan fuqaha Irak, pekahannya dengan "haid". 
  2. Differences in hadith. The difference is that there are hadiths that reach some fuqats and do not reach other fuqats. Sampling pederbendaam dalam kualitas kualitas sebuah hadits yang absah besaheda base argumentsasi dalam ber-istidlal. 
  3. The difference in meaning is dan penguan kaidah luughawiyah nash. Para fukaha berdba dalam sampakan apakah suatu lafadz al-'am itu qath'i atau zhanni . Some people understand bahwa lafadz al-'am itu Baiat qath'i jika tidak ada takhsish -nya, semanta yang lain, they understand itu sebagai zhanni bukan qath'i. 
  4. Dalil-dalil yan konagasat ( ta'arud ) difference in mentejihkan. Article fukaha berdba minat, ketika tadida pertentangan antara dua dalil and cara tehsingannya melalui tarjih. Some fuka say that in principle there is no Pertentangan Antar Dalil except Hanya Pertentangan Dalam Pemanganan Para Mujtehid. Sementara fukaha yang lain, memang makani adanya pertentangan seto ~ harus dikarikan medeto teteshwanya melalui tarjih. 
  5. Difference Heaven. The difference is that bukan hanya antara rejects kijas sebagay dalil hukum, teppa juga antara accepts kijas pun tadidaan peredakan, especially in the intensity of waiting. 
  6. Dalil-dalil hukum difference in pinguan. Dalil hukum di bagi mendiya dua bagian, yaitu dalil naqli en dalil aqli. Dalil naqli, adalah dalil-dalil al-Quran and al-hadith. During dalil nakli, adalah dalil dasaran ijtihadiya. Berkanitaan dalil yang di sebut terhih ini, para ulama' berdba dalam perebuhannya sebagai derived from ber-istidlal. 
  7. The difference in meaning is illat hukum and nasah. Illat hukum, merupakan dasar bagi maksatihan suatu sedarim hukum shara'. Couple fukaha berdeba dalam maksatiing illat, and menera juga berdeba dalam nasakh, elimination yaitu suatu hukum dengan position hukum yang datang kemidu. [five]
In addition to the four madhhabs of fiqh mentioned above, there are a number of other madhhabs of fiqh such as the madhhabs of Zahir, Taber, Lait, etc. Namun saat ini majab-majab tersebut kurang mengaba, karena sedik sikkeitnya. From the Sunni group (Ahlus Sunnah wal Jamaa ) there is a Sijsk madhhab consisting of two main madhhabs, namely the Sijsk Imamiya [6] consisting of twelve Imams and the Sijsk madhhab of Zaidi. . [7]
Pada Zaman before Imam Majab, Qaum Muslim is free to follow the opinion of Mana Yang Wadenya. Diantara Impacta dari liberidad ini tumbuh dan berekunya point ulama yang kemidu hari sebagai famous mountain climbers madzhab-madzhab. Zaman kemunduran ijtihad dibidang fiqih ini siktar sekitar tiga abad sampai datangnya masa kemunduran ijtihad di commit fiqih, sekitar midi abad ke-4 Hijrat. Setelah masa ini, most of the ulama tidak berani are at home ijtihad secara bebas. Before the ulema tersekat-sekat ke dalam pelebi madzhab and masing-masing hanya gegihantasi argumentsasi-argumentasi yan dibukan olekh para imam madzhabnya. Then Ilmu fiqih rested and ilmu-ilmu lain yan mendenai Ilma fiqih ini membaya, seperti ilmu ushul fiqih. Kemunduran Fiqh Islam yang tuktu sejak midi abad ke-4 sampai akhir abad ke-13 H sering sebagai sebagai kumpulan pintu ijtihad (period of taqlid). Disebut gehalo, karena sikap dan paham yang sikluyy omadab para ulama mujtahid sebelen sebagai sebagai yang nadahaan. It's even looked at right. [8°]
So in the 4th century Hijri or in the 20th century, bermunkulan para ulama yang giat angsari angsari among different peaks in thought pwikkan fiqikhnya, seperti sayih Mahmud Syaltut (1963) dengan hekaran taqrib beyn al-mazakib (madqatan an ).
Therefore, it can be said that today there are ulama-ulama who try to relate the provisions of Islamic law to various issues of life and hold the reins of governance in this life. Tanda-tanda evajang kembali pukuskan fiqih atau tsemaan antar madzhab pada masa moderne dapat dilihat pada system pendumanya yang bertangu berbenganan ( muqaran ) yang objective, segi-segi penulisannya yang specifichifik dalam mebahas suatu pegang special.
Peran yang besar in the development of Islamic law madzhab-madzhab fiqih telah keelanaan rumusan-rumusan methodologists kajian hukum yang luas dan comprehensif, ie. Islamic jurisprudence tidak hanya mampu mampang contemporary perselaan-persoalan. Selain itu, the development of Majab Majab Fiqih Itu Membuat Hukum Islam Menjadi flexible. [nine]  

b.     Taqlid  

1.      Impeding taqlid  

Secara bahasa taklid comes from the word قلَّدَ ( kallada ) - يُقَلِّدُ ( yukallidu ) – تَقْلِيْدًا ( Taklidan ). Yang mengagung arts mengalungi, menjali, meniru, transmission, date after. Dalam is called lain yaitu semperima minat orang lain tanpa sampada alasannya. [10] A person who is a Bertaklid dengan taqlidnya itu takui-olah tengkakan hukum yang bettuklinya dari a person who is a mujtahid. While the term taklid is followed by the opinion of a certain mujtahid, atau ulema tanpa mengetahi sumber dan chara pemangia opinion tersebut. Menurut termah agama yaitu takama suatu ukaranan orang lain serta melangan tenang suatu hukum agama dengan tidak mengetahi tebina-keterangan and alasan-alasannya. Orang-yan-bertaklid is called mukallid . [eleven]
During taqlid menurut syara' adalah domana suatu perbuatan atau kiadaan persatan keratan orang lain tanpa memiliki hujjah atau bukti yang languar. For example, orang avam yan seorang mujtehid (pendapat) seorang mujtehid, atau seorang mujtehid yan seorang sederajat mujtehid yan sederajat dengan dia. Taklid dalam masalah aqidah tidak dibolehkan, karena Allah telah mencela orang-orang yang taklid dalam masalah aqidah. SWT of Firman Allah: 
And when they said to me: "Ikutilah apa yang telah naveludu Allah", they said: "(Tidak), tepai kami hanya sukuri apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyaang kami." "(Akapa menaka akan sukuri juga) even though nenek moyang merake itu tidak mengetahi suatu apanaan, dan tidak mendat hinadat?" (QS. Al-Baqarah: 170)  
In the matter of ijtihad and taklid ini, asy-syaukani mengomentari dengan memanat bahwa, ijtihad wajib atas oran yan melikification mujtahid, the prohibition of taklid is given according to the content of the Qur'anic verse: 
So if you disagree, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) and Rasul (sunnah). (QS. An-Nisa: 59)  
According to asy-Syaukani, Allah did not command a person's opinion on the problem of Agama, and his Diperintah did not command it from Allah and His Messenger, Yakni Kepad al-Qur'an and As-Sunnah. Therefore, one should memorize the Qur'an and the Sunnah. However, if the problem is not found in the Qur'an and Sunnah, then ijtihad bi ar-ra'ji must be performed.
Pendangan asy-Syaukani ini dapat dimitara oleh para sehili madzhab yang empat. Namun pasalannya kemidu adalah, bagimaan jika kasus ini tadiri pada orang awam, apakah mereka tetap doma ijtihad? Dalam konteksin ini, para sehiliim imam majab yan empat mewajibkan bagi orang awam untuk bertaqlid kepad salah seorang mujtehid. Menurut menarak, orang awam yang tidak memiliki dijaniyam sedikt pun tentang hukum Islam, it is impossible to perform ijtihad; dan jika mereka tetap juga divajibkan domana ijtihad, maka akan tadiri kaasas hukum dalam masyarakat atau dapat terbengkalainya different spheres of life, karena etiap orang sibuk sukupada diri untuk domana ijtihad. [12]  

2.      Hukum Taqlid  

Mengeni hukum taklid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taklid yang langutat and taklid yang namanar atau haram. [13] 
a.       Taklid yang langutat atau mubah, yaitu taklid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan guapang taklid dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang kiwata Imam Hassan al-Bana menengei taklid ini, menurut beliau taklid adah pesutas yang mubah dan limatut oleh syariat, namun meski mahligian, hal itu tidak haldi bagi semua manusia. However, it is only permissible for any Muslim who has not reached the level of an-Nazr or who does not have the opportunity to study proofs from the laws of Islamic law, e.g. , or who have the opportunity to untuk tiducta hukum dari al-Qur'an and Sunnah, serta tidak mengetah ijma dan kijas. 
b.      Taklid yang barbari atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah pekapatan tingkatan tingkatan an-nazr atau yang yang yang yang pukang samaju hukum-hukum sariat. Among other things, there are some forbidden taklids: 
  1. Taklid buta, faith Yaitu suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa obserenan tekaran al-Qur'an and Hadith, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat, although the teaching contradicts the teaching of al-Qur'an and hadith. 
  2. Taklid tepadan orang-orang yang tidak kita tetita apakah mereka ahli atau tidak tenang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih. 
  3. Taqlid against a person who has received proof and evidence that the opinion of a person who is Taqlid is against the teachings of Islam or at least with the Qur'an and Hadith. Namun, boleh bertaqlid tepadan suatu opratt, garis-garis hukum tenang soal-soal dari seorang mujtehid yang betul-betul mengetai hukum-hukum Allah e Rasul.  
analyzes  
Ijtihad adalah usaha besar yang mengerakan rye beliefs, bagimakanah bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak vastant-mengah? Maka ijtihad yang di tempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak wasant-mengah adalah bukan sexut category ijtihad.
Ibn Subki says that ijtihad is performed by people who have reached certain ranks and qualifications who say they are fuqah because fuqah can do it. Lalu bagimana orang-orang yang bukan faqih is only taklid saja tepai yan mengetahi dasar hukumnya.
Bayagamana hukumnya taklid bagi orang awam? Bila mana dia sampasan suatu paramatt kalau minta explanation followed by Dalil al-Quran/Sunnah. Maka ini kilatamat, tepi bilamana tanpa didasari dengan dalil dan alasan hukum sebagay base argumentasi, maka taklid seperti hukumnya haram. (Soft Taqleed).  

KESIMPULAN  
From what was said above, it can be concluded that ijtihad is the duty of a mujtahid, namely a mujtahid who has the qualifications and ability to do the right thing.
During bagi masyarakat awam yang tidak memiliki qualifikasiyon, maka oblivaniya ini gugur, dan ia tidak boleh hanya bertaqlid kepada ulama', namun ia dapat minta purification yang accompanied by dalil-dalil al-quran and as-sunnah sebagasan. This method is not like Taqleed, but it increases the importance of Ittiba, which can be used and justified in Islamic law. Jadi taqlid yang nga larang Dalam Islam Adah maksupa sanapan (pendapat) orang lain tanpa didasari oleh suatu dalil dan alasan hukum sebagai Basis of arguments sasinya. Taqleed is known as Taqleed buta. tl; Dr.

[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, p. 71
[2] Ibrahim Hossein, Fiqih Perbandingan Masalah Perikanja Jilid 1 , Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003, p. 91
[3] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Majab , p. 71
[4] Amir Syarifudin, Isne Fikih Jilid II , Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 2001, p. 422
[5] Sayh Mahmoud Seltut and Sayh M. Ali As-Sais, Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqih , Jakarta: Bulan Bintang, 1997, p. 16-18
[6] Imamiyah adalah golongan Syi'ah yang meyakini bahwa Nabi Muhammad see telah namukah Ali bin Abi Talib sebagai imam penduangan dangan yang clearly and tegas. Oleg Karena Itu, Mereka Tidak Keabsahan Kepermanihan Abu Bakar, Umar, Maupun Usman. Bagi mereka pesalan imamah adalah salah suatu pesalan pook dalam agama atau Ushuluddin. Disebut Dzhuga Tujuh Imam. Dinamakan mahima sebab menera peraya bahwa imam hanya tujuh orang dari Ali bin Abi Talib, dan menera peraya bahwa imam ketujuh ilah Ismail. Lihat, Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Theology of Islam) Sejara, Adjara, dan Perekmananya , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, p. 27-28
[7] Zaidiyah is a sect in Syi'ah which recognizes the ataw khalifa keabsahan of Imam Abu Bakr As-Sidiq and Umar bin Khattab. Furthermore, Ali bin Abi Talib only added Abu Bakr and Umar bin Khattab. For this reason, the Zaydia sect is considered the closest Shia sect to the Sunnah. Lihat, Muhammad Abu Zahra, Aliran Politics Dan Aqidah Dalam Islam , Jakarta: Logos Publications, 1996, p. 25
[8] Ade Dedi Rahayana, Ilmu Esne Fikih , Pekalongan: STAIN Press, 2006, p. 310
[9] Dede Rosada, Hukum Islam and Pranata Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1999, p. 160-161.
[10] A. Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islamic , Jakarta: Bulan Bintang, 1984, p. 176. Lihat juga, Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih , Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, p. 132. Contoh pengguan dalam bahasa Arabic, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban).
[11] Nazar Bakri, Fiqih and Ushul Fiqih , Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cek. 4, 2003, p. 61
[12] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asi-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Islamic Hukum i Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, p. 117
[13] Khairul Umam dan A. Achiar Aminudin, Ushul Fikih II , Bandung: Pustaka Setia, cek. 2, 2001, p. 155

0 Response to "MADZHAB DAN TAQLID DALAM ISLAM"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel